Manusia terlahir, terlempar, terhempas ke dunia yang ramai, tanpa sedikitpun dia diberi waktu untuk memilih. Sejak itu, ‘keramaian’ mengikat kita tanpa ampun, dengan perasaan cinta, kasih dan sayang. Dia mengikat kita dengan rasa memiliki dan rasa kehilangan. Untuk bisa lepas dari ikatan itu, manusia menciptakan ilusi yang dinamakan sunyi, kesunyian.
Sunyi itu situasi yang aneh. Saat kita mengalaminya, tak ada siapa-siapa, hanya ada kita sendiri; justru pada saat itulah kita menemukan ‘keriuhan’ di hati dan pikiran. Orang sering mencari kesunyian, jauh dari keramaian kota dan menghindar dari kerumunan manusia yang banal.
Di sungai, di pantai, di gunung, kesunyian itu ditemukan, tapi sekaligus ada keramaian di sana. Kicau burung, bunyi jangkrik, desir angin sepoi di antara dedaunan dan aliran air sungai menemani percakapan-percakapan liar di dalam hati. Pikiran yang tadinya ingin lari dari penatnya pekerjaan dan tetek bengek masalah rumah tangga, justru seolah beterbangan liar di alam bebas. Sunyi ibarat mencampakkan sapiens kembali ke mulut singa keramaian. Sesungguhnya kita tidak pernah benar-benar ‘mengalami’ sunyi. Keramaian hanya bermetamorfosa sementara, di kala secara fisik kita menemukan ketenangan.
Seorang single mother bertolak ke hutan bersama anak-anaknya. Maksud hatinya ingin memanfaatkan momen-momen terbaik bersama orang tercinta, melarikan diri sejenak waktu dari rutinitas.
Tapi apa yang dia temukan, selain bayangan akan kebahagiaan anak-anaknya, selain nasib masa depan bocah-bocah aktif itu, selain takdir hidup yang tidak bisa ia ubah? Semuanya begitu riuh ramai melintas di benaknya.
Seorang pengangguran yang sesekali coba mendaku diri sebagai freelancer fotografer menikmati jernihnya air sungai di tengah hutan. Maksud hatinya ingin memotret penampakan-penampakan alam yang memesona.
Namun, apa yang dia temukan, selain tagihan kredit ponsel android yang belum lunas, selain kebutuhan lauk-pauk di rumah yang ditempatinya berdua dengan ibunya, selain uang bensin yang harus dia sisihkan setiap kali hendak mengabadikan pasangan nikah? Kesunyian sungai, pada hakikatnya, hanya membawa dia kepada ramainya realitas. Sunyi bermetamorfosa, tidak sampai 24 jam, sebelum dia betul-betul dipertemukan kembali dengan isi dompet yang menipis; nyaris tak berisi sama sekali.
Seorang jurnalis membawa kekasihnya ke sebuah desa yang sepi. Berharap dia dan kekasihnya itu bisa menemukan ketenangan yang akan jadi tonggak permenungan keduanya menjalani hidup bersama sampai mati. Lalu, apa yang dia temukan di dalam hati dan pikirannya, selain ketakutan akan hadirnya orang ketiga, biaya mahar kawin yang belum tentu bisa dia lunasi, atau nominal utang piutang yang harus dicatat sebelum pesta pernikahan dilangsungkan? Sejauh apa pun dua sejoli itu berjalan, situasi yang ‘ramai’ itu tidak benar-benar sirna.
Pemikir politik Inggris Thomas Hobbes percaya bahwa manusia secara asali bersifat egois, lalu masyarakat (society) menyeimbangkan perangai yang kasar ini. Anak kandung revolusi Prancis, JJ Rousseau yakin bahwa manusia terlahir baik, masyarakat yang merusaknya. Pemikir eksistensialisme Simone de Beauvoir justru meragukan bahwa sifat alamiah manusia itu ada.
“Kita itu tidak memiliki sifat alamiah,” seperti yang ditulis Eric Weiner membahas Beauvoir.
Lebih dari semuanya, kalau pun kita sepakat dengan Hobbes dan Rousseau bahwa sifat alamiah manusia itu ada, maka menciptakan ilusi-ilusi adalah salah satunya. Termasuk menciptakan situasi yang dinamai kesunyian.
Sunyi itu situasi yang aneh. Tapi, dia membuat kita tahu makna sesungguhnya dari ‘tertampar realitas kehidupan’. Dan hanya ada satu cara menghindari tamparan itu, yakni, mencari kesunyian.